Indonesia, negara di kawasan Asia Tenggara, tengah merancang program deforestasi terbesar di dunia, dengan luas hampir setara dengan Belgia. Proyek ambisius ini bertujuan untuk memproduksi bioetanol dari tebu, serta menanam padi dan komoditas pangan lainnya. Namun, proyek ini berpotensi menggusur masyarakat adat yang selama ini bergantung pada tanah tersebut untuk hidup.
Masyarakat adat di berbagai wilayah telah melaporkan dampak negatif yang mereka alami dari proyek-proyek serupa yang didukung pemerintah. Mereka khawatir bahwa rencana ini hanya akan memperparah situasi dan menghilangkan hak-hak mereka atas tanah leluhur.
Ancaman terhadap Keanekaragaman Hayati
Indonesia dikenal sebagai rumah bagi hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, yang menjadi habitat berbagai spesies langka dan terancam punah, seperti orangutan, gajah Sumatera, dan bunga rafflesia. Kelompok-kelompok pemerhati lingkungan memperingatkan bahwa rencana deforestasi skala besar ini dapat mengakibatkan kerusakan besar terhadap flora dan fauna Indonesia.
Penggundulan hutan dalam skala besar tidak hanya membahayakan kelestarian lingkungan, tetapi juga meningkatkan risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Selain itu, hilangnya hutan berarti hilangnya penyerap karbon alami yang sangat penting untuk mengendalikan perubahan iklim.
Tujuan Ketahanan Pangan dan Energi Terbarukan
Pemerintah Indonesia beralasan bahwa proyek ini merupakan bagian dari strategi untuk membangun “lumbung pangan nasional” atau food estate, yakni kawasan pertanian skala besar yang ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Selain itu, proyek ini juga bertujuan untuk mempercepat transisi menuju energi terbarukan dengan memanfaatkan bioetanol yang dihasilkan dari tanaman seperti tebu dan jagung.
Presiden Indonesia saat ini, Prabowo Subianto, menegaskan kembali komitmennya terhadap program ini. Dalam pernyataannya pada Oktober 2024, ia menyatakan keyakinannya bahwa Indonesia akan mampu mencapai kemandirian pangan dalam waktu 4 hingga 5 tahun ke depan.
“Saya yakin dalam waktu paling lambat 4 sampai 5 tahun, kita akan mencapai swasembada pangan. Kita juga harus mandiri dalam energi, dan saya yakin kita memiliki kapasitas untuk mencapainya,” ujar Prabowo.
Tantangan Sosial dan Lingkungan
Meski pemerintah menjanjikan manfaat besar dari proyek ini, berbagai pihak menilai pendekatan yang diambil justru mengancam lingkungan dan hak-hak masyarakat adat. Para aktivis lingkungan dan organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan alternatif yang lebih berkelanjutan dan inklusif.
Pengamat juga menyoroti kurangnya konsultasi publik dalam perencanaan proyek ini. Banyak masyarakat adat mengaku tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak langsung terhadap kehidupan mereka.
Jika proyek ini terus berjalan tanpa perencanaan yang matang dan pelibatan masyarakat, maka Indonesia bisa menghadapi krisis lingkungan dan konflik sosial yang berkepanjangan. Para ahli menekankan pentingnya keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian alam, terutama di negara yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi seperti Indonesia.
Kini, semua mata tertuju pada bagaimana pemerintah akan melaksanakan proyek ini, dan apakah kepentingan masyarakat serta keberlanjutan lingkungan akan benar-benar menjadi prioritas.